May 23, 2007

Negara dan Olahraga


MENURUT Musgrave –lewat bukunya Public Finance: Theory and Practice, 1973- fungsi utama Pemerintah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah berkenaan dengan alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi meliputi aspek pengelolaan alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan di dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter. Ternyata fungsi itu gak jauh beda ama Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Pembukaan UUD 45 telah menggariskan bahwa Negara harus mampu pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia. Fungsi pertama tidak lebih adalah Stabilisasi. Fungsi kedua adalah Distribusi. Fungsi ketiga adalah Alokasi (untuk sektor Pendidikan). Fungsi keempat sama dengan Stabilisasi.
Tetapi dewasa ini dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kompleks seiring dengan meningkatnya permasalahan dan tuntutan peningkatan kualitas kehidupan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah perubahan di dalam fungsi, lingkup dan sifat urusan pemerintahan tersebut di atas. Dalam pola pemerintahan yang berjenjang seperti negara kita ini, perubahan di atas pada akhirnya akan menyentuh hubungan Pusat dan Daerah terutama di dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pembangunan.
Wewenang dan peran negara dalam Olahraga masuk yang mana? Saatsaat ini –dimulai awal tahun ketika Depdagri mengkritik Daerah yang menggunakan APBD untuk dana klub bola- maka peran Pemerintah mulai dipertanyakan kembali untuk komitmen dunia olahraga. Pemerintah juga bisa berkilah bahwa APBD arahnya untuk ’pemberdayaan’ masyarakat enggak cuma sepakbola doang. Kami-kami yang cinta bola ama memperhatikan ekonomi bisa menengahi dengan, ”APBD gak papa buat sepakbola asalkan ada efek multiplier yang besar”. Ini namanya value added, Bung.
Sepakbola ama APBDnya ini lalu diungkit lagi ketika tim bulutangkis Indonesia samasekali (babar blas) tidak mendapatkan gelar juara di Indonesia Super Series. Orang kemudian rindu akan pembinaan jaman dulu –dengan Pemerintah yang lebih dominan membina atlet. Bulutangkis selama ini dikatakan sebagai leading-sector Indonesia, sampai-sampai pak Titus Kurniadi pernah mengusulkan agar Garuda Indonesia menghiasi ornamen-ornamen shuttlecock agar semua tahu lewat olahraga inilah Indonesia jaya. Tapi hasilnya terutama tahun ini? Selama putaran super series digelas semenjak tahun 2007 baru sekali INA dapat –yakni ganda campuran Flandy Limpele/ Vita Marisa di Singapura. Selebihnya adalah runner up dan bahkan gagal di babak awal.

Antara Negara Lain ama Kita
SEWAKTU di tabloid Bola –kebetulan lupa gw tanggalnya- awal bulan Mei ini MJ Kalla menyatakan bahwa ada 2 (dua) model pembinaan olahraga. Satu adalah pemassalan seperti yang dilakukan Brasil dan China. Kedua adalah metoda ’sekolahan’ seperti yang dilakukan USA. Di Malaysia –menurut Rexy Mainaky- modelnya seperti dulu sekolah Ragunan. Sejak usia menengah mereka yang berprestasi disekolahkan di Ragunan tanpa dipungut bayaran.
Ketika tahun 2004 saya ke sana selama sebulan, memang aura olahraga sangat terasa terutama atletik. Hampir setiap pekan berita olahraga diwarnai kompetisi atletik yang berpindah-pindah di hampir setiap Negara bagian.
Kalau di Indonesia pasti kendalanya dana. Bukannya saya mau membela Apbd ke sepakbola tapi olahraga satu ini mempunyai multiplier effect yang terbesar dibandingkan olahraga lainnya. Dari mulai pedagang kecil di seputar stadion, merchandise milik perusahaan sablon, sampe ke pedagang balon. Dari penjual kacang, tukang barang, sama yang ongkang-ongkang (calo kamsudnya).

Salahnya juga perusahaan swasta belum begitu tertarik untuk mendanai klub. Hanya beberapa yang nempel seperti Telkom di kaos Persib, dan JawaPos di Persebaya. Lumayan juga sih karena Antv mau mendanai untuk penyiaran Liga sampai 5 tahun, dan Djarum yang mau nyeponsori mendanai kompetisinya, serta Dji Sam Soe untuk Copa. Tapi yang full 100% untuk klub? Dulu sih ada Pelita Jaya yang punyaknya Bakrie. Terus dulu juga pendanaan untuk Olahraga cukup dari SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Tapi sekarang...

Memang idealnya pendanaan itu dari ‘Pasar’. Maksud saya dari mekanisme supply dan demand antara swasta dan masyarakat. Tapi penjualan merchandise klub dalam hal ini juga tidak begitu signifikan penghasilannya karena pemalsuan. Selain itu penduduk Indonesia lebih ngefans kepada klub asing (masak ada MU Fans Club sih di Jakarta, oh my country).
Lebih ideal lagi pendanaan dari masyarakat sekitar. Contohnya seperti Newcastle United yang bermarkas di Stadion St James Park, yang aslinya milik pemerintah daerah Newcastle, tetapi sekarang sudah menjadi milik pendukung berat The Magpies, masyarakat lokal. Sistem manajemen dan aturan-aturan yang berlaku, ”full” milik Newcastle United, tidak ada campur tangan Pemda.

Penutup
GOVERNMENT of Indonesia alias GoI tetap harus mengadaken intervensi terhadap olahraga. Keinginan Menpora untuk mendirikan Departemen Olahraga menjadi salahsatu alternatif. Tetapi kalau takutnya overlap, mungkin keolahragaan cukup menjadi sub di Depdiknas. Pembangunan di bidang Olahraga menurut hemat saya mencakup pembangunan manusia. Di bidang ini kita bisa bicara soal nasionalisme, ‘bangun jiwa dan badan’, bahkan penanggulangan kemiskinan.
Logika 3M pantas dipakai untuk memajukan olahraga, kita butuh Money (gimana kalau semacam SDSB tetapi gak judi... Cape deh), Man (pengurus bond OR kalau bisa yang mantan atlet), dan Material (anak-anak yang bergizi sebagai atlet masa depan). So di alam keindonesiaan kita sekarang Negara tetap alias mutlak menjadi pionir. Sehabis GoI saya yakin pasar dan masyarakat akan menyusul.
Yuni Andono Achmad

No comments: