Mar 19, 2012

Problematika 5M dalam KKPE/ KUPS

KREDIT Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) adalah jenis kredit investasi dan/atau modal kerja yang diberikan oleh Bank Pelaksana kepada petani/ peternak melalui kelompok tani atau koperasi. Sedangkan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) merupakan skema kredit program dengan suku bunga bersubsidi yang disediakan oleh pemerintah untuk menciptakan tatanan iklim usaha yang mampu mendorong pelaku usaha bergerak di bidang pembibitan sapi.

Sampai saat ini realisasi KKPE dan KUPS masih rendah, mengutip pidato sambutan Pimpinan Bank Indonesia (BI) Medan saat memimpin rapat "Review Pelaksanaan KKPE dan KUPS di Sumatera Utara" (Kamis, 19 Mei 2011), untuk skala nasional masih berkisar 25 persen (KKPE) dan 4 persen (KUPS). BI sendiri sangat concern dalam memantau perkembangan kredit program karena perannya untuk koordinasi dan kerjasama dengan pihak terkait dalam rangka mendukung kebijakan perkreditan.

Selama mengikuti rapat koordinasi tersebut, penulis mengindikasi terdapat 5M yang menjadi problematika rendahnya pencairan skim kredit KKPE dan KUPS di Sumatera Utara. Ke-5 M tersebut adalahMan, Manajemen kelompok, Mitra, Market, dan Material. M yang pertama adalah man, artinya sumber daya manusia yang berkaitan dengan program ini. Bisa dari pihak debitur atau calon nasabah –yaitu petani atau peternak. Bisa juga aparat pemerintah, yaitu pejabat di pemerintah Pusat/ Daerah, dan petugas teknisnya –yaitu para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Para petani sering menyampaikan keluhan bahwa mereka tidak paham betul mengenai skim kredit program, baik informasinya, maupun cara mengakses. Bahkan muncul persepsi bahwa kredit program adalah "hibah" dari pemerintah.

Hal tersebut menyangkut lemahnya sosialisasi dari pihak Kementerian (man berikutnya). Pihak kementerian dan pemerintah daerah belum mempersiapkan aparatnya untuk sosialisasi. Demikian pula para PPL belum mempersiapkan data kelompok tani (Poktan) yang potensial –versi pihak bank. Bank merasa memiliki kelemahan di sisi petugasnya (account officer atau AO bank) dalam mengetahui perihal teknis pertanian, dan aplikasi skim kredit program. Untuk itu diharapkan kerjasama dengan PPL dalam menutup kelemahan sisi teknis ini.

M yang kedua adalah Manajemen kelompok. Artinya kesamaan visi dari anggota Poktan. Anggota kelompok musti sepaham terlebih dahulu dalam memajukan timnya. Dalam menyusun Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) harus melalui musyawarah mufakat dengan dibantu petugas teknis –yaitu PPL dalam hal ini. Saling mengingatkan dan membantu Poktan atau sesama anggotanya akan menjauhkan dari kemungkinan kredit macet (NPL/ non performing loan).

M yang ketiga adalah Mitra. Menjadi tantangan tersendiri untuk mengajak mitra –berupa Bapak Angkat dalam pola inti dan plasma- yang relevan dalam program ini. Bapak angkat setidaknya mampu menjamin keberlangsungan usaha terutama mengingat minimnya dana yang disiapkan dalam skema kredit program. Pihak Bank Sumut menyatakan belum ada mitra yang mau ikut serta terutama dalam proses merevitalisasi perkebunan, yang sangat membutuhkan keterlibatan Bapak angkat.

M yang keempat adalah market atau pasar. Kedua sektor –pertanian dan peternakan- memiliki perbedaan perlakuan pola pasarnya. Peternakan pasarnya sangat luas tetapi supply dari dalam daerah Sumut sendiri kurang, sehingga terpaksa impor. Sementara pertanian, terutama beras, sangat melimpah di Sumut. Tetapi harga beras di Sumut tetap tinggi, karena menurut sinyalemen salah seorang peserta rapat, beras dari Sumut dipasok ke Cipinang untuk menyangga kebutuhan beras nasional.

M yang terakhir adalah material. Maksud dari material di sini adalah materi yang diagunkan, atau collateral. Walaupun pihak BRI menyatakan bahwa agunan "hanya" merupakan syarat kelima (setelah keempat syarat yang lain yaitu character, condition, capacity, dan capital). Tetapi bagi bank lain syarat material agunan sangat diutamakan. Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dipandang belum cukup –harus memakai sertifikat tanah. Demikian pula akta jual beli. Perlu terobosan dalam hal kebijakan agunan ini. Melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. Melibatkan BPN menyangkut rencana tata ruang dan wilayah (RTRW). Sehingga jangan sampai Pemprov telah memberi ijin usaha tempat (pertanian) tetapi terkendala oleh peraturan BPN, karena dianggap melanggar RTRW.Penelitian dari Puslitbang Fakultas Ekonomi USU (2008) menyebutkan bahwa kendala utama yang dihadapi perbankan dalam merealisasikan KKPE adalah penjaminan pinjaman (kolateral), dan legalitas kepemilikan tanah. Perbankan tidak progresif menyalurkan KKPE karena material agunan yang dimiliki petani tidak menjamin pengembalian kredit. Permasalahan lainnya adalah relatif rendahnya jumlah pagu indikatif yang dapat diberikan oleh perbankan. Masalah yang lebih teknis, misalnya tidak tersedianya pupuk –walaupun kredit telah cair.Fenomena lambatnya pencairan KKPE dan KUPS mengindikasikan adanya asymetric information dari Pusat ke Daerah, terlebih lagi dari program pemerintah ke masyarakat akar rumput. Dalam kajian atau perspektif ekonomi, persoalan kesenjangan informasi merupakan perihal mendasar yang melandasi asumsi pasar. Sehingga kegagalan pasar (market failure) salah satunya disebabkan oleh kesenjangan informasi.

Dalam konteks para penggagas pemberdayaan ekonomi, perang asimetris sudah lama terjadi. Ia adalah kesenjangan antara pengusaha mikro, kecil, menengah (UKM) dengan lembaga pembiayaan seperti perbankan.Kesenjangan informasi yang sama juga terjadi ketika lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan mikro (LKM), saat berhadapan dengan calon nasabah. Nasabah lebih tahu dari bank/LKM tentang kapasitas keuangan dan kredibilitas mereka. Kalau bank/LKM salah dalam menilai kredibilitas nasabah, akan ada moral hazard di fihak peminjam untuk tidak mengembalikan pinjaman. Karena itu bank dan lembaga keuangan formal selalu meminta jaminan (collateral) yang besar dengan persyaratan tebal.Sehingga Ghatak dan Guinnane (1999) dalam artikelnya, memberikan deskripsi dan ilustrasi mengenai bagaimana lembaga keuangan mikro atau LKM dapat menanggulangi masalah kesenjangan informasi beserta dampaknya melalui metode group lending. Metode ini telah terbukti sukses di Grameen Bank di Bangladesh. Grameen Bank menyalurkan sebagian besar kreditnya kepada masyarakat miskin tanpa jaminan.Selain metode kelompok, proses pendampingan diperlukan untuk mengatasi persoalan asimetris ini. Karena pemerintah memiliki keterbatasan untuk turun langsung ke lapangan, sementara masyarakat memiliki keterbatasan untuk menanyakan secara langsung. Maka dibutuhkan "kepanjangan tangan" para pendamping untuk menyukseskan program. Peran PPL sangat dibutuhkan dalam pendampingan tersebut. Juga keterlibatan pendamping "plus" berupa Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) yang setiap tahun rutin dilatih oleh Bank Indonesia ***

dimuat di harian Analisa hari Jumat tanggal 03/ 06/ 11 http://www.analisadaily.com