MEMBACA kembali buku Michael P. Todaro, Economic Development, 8th edition, sepertinya menjadi semakin menarik. Selalu ada hal-hal yang kelewatan. Hebatnya, buku ini merekam hampir setiap seluk beluk fenomena pembangunan di berbagai belahan dunia. Menghubungkannya: antara satu negara dengan negara, antara Negara maju dengan Negara sedang berkembang (NSB). Lalu yang dicari oleh para akademisi: hubungan antara teori dengan praktik.
Ternyata persoalan pembangunan di Republik ini tidak cuma terjadi di tempat wonge dhewek, namun juga kejadian di belahan dunia lainnya. Bayangpun coba!
Kemiskinan? Gap antara kaya dan miskin? Cape deh –itu mah biasa.
Totalnya terdapat ¾ penduduk dunia dari 6 milyar yang ada saat ini, hidup dalam ketidakberuntungan. Mereka hidup dalam serba kekurangan, tidak sehat, buta huruf, menganggur dan masa depan yang tidak pasti. Hal itu dapat terjadi oleh karena standar hidup antar belahan dunia yang berbeda.
Sebagai contoh rata-rata keluarga di Amerika Utara yang mempunyai pendapatan 48 ribu dollar. Mereka tinggal di rumah yang nyaman dengan kebun yang apik dan 2 (dua) buah mobil. Bandingkan dengan perdesaan di Asia. Rata-rata 1 rumah dihuni oleh 10 orang (5 anak, 2 orang tua, ditambah bibi dan paman, atau malahan nenek/ kakek), dengan pendapatan 250 sampai dengan 300 dolar setahun. Jauh lagi ke Afrika, kita akan menemukan kehidupan yang lebih tragis. Mereka hidup dalam segala keterbatasan –bahkan beberapa ada yang hidup secara subsisten. Mereka tidak punya pendapatan dari yang dihasilkan, karena semua makanan, pakaian, rumah, dan barang yang mereka hasilkan adalah untuk konsumsi diri mereka sendiri.
Kasus pelayanan publik yang terjadi di Asia Afrika adalah sering absennya guru, masih langkanya listrik, jarangnya makan anak-anak. Sebenarnya di Amerika Selatan terjadi kasus yang hampir sama, tepatnya terjadi kesenjangan. Hanya dalam jarak dekat di seputar gedung-gedung bertingkat terdapat kawasan kumuh.
Malahan berdasarkan laporan WTO, dalam beberapa tahun terakhir kesenjangan dan ketidakmerataan pendapatan dunia meningkat tajam. Disebutkan pula bahwa sekitar delapan persen pendapatan dunia hanya diperuntukkan seperlima orang-orang kaya dunia. Padahal data yang dirilis oleh berbagai lembaga kemanusiaan menunjukkan bahwa kelaparan dan kemiskinan di Benua Afrika dan di wilayah lain, terus meningkat. Pada tahun 1990, dari 227 juta jumlah orang miskin di Afrika meningkat hingga 313 juta orang pada tahun 2001.
Kesenjangan di Indonesia? Morgan Stanley, perusahaan investasi bertaraf internasional, tahun lalu merilis data spektaluler. Saat ini, sekira ada 3.328 keluarga di Indonesia membekap aset USD 5-20 juta, dan 167 keluarga menyimpan aset USD 20-100 juta. Dari jumlah ini, 80 persen berdomisili di Jakarta dan 10 persen tinggal di Surabaya. Ambil contoh Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur ini, ada 420 keluarga kaya dengan aset USD 5-20 juta dan 21 keluarga lainnya beraset USD 20-100 juta. Di Bandung, sedikitnya ada 167 keluarga memiliki USD 5-20 juta dan 8 keluarga lainnya mengenggam USD 20-100 juta. (opini Jawa Pos, Minggu 18 Juni 2006).
So bagaimana menganalisisinya. Kita butuh Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (Economic Development). Studi ekonomi pembangunan sendiri tergolong baru, meski ada pihak yang menyebut bahwa ahli pertama yang menyebutnya adalah Adam Smith –melalui bukunya The Wealth of Nations yang dipublikasikan pada tahun 1776. Masih banyak kalangan yang menyatakan bahwa ekonomi pembangunan sebagai sebuah ilmu belum mempunyai wilayah yang spesifik layaknya ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi ketenagakerjaan, keuangan publik, pun ekonomi moneter.
Studi Ekonomi Pembangunan berbeda dengan perekonomian negara maju yang cenderung kapitalis (termasuk ekonomi modern yang cenderung Neoklasik). Juga berbeda dengan perekonomian negara yang cenderung sentralistis (lebih ke arah ’marxist’ atau ekonomi komando). Ilmu ini tidak lebih berada di wilayah pembahasan kemiskinan, negara miskin /terbelakang dengan berbagai latar belakang orientasi ideologinya, budaya yang beragam, dengan berbagai permasalahan ekonomi.
Beberapa tokoh ekonomi yang mendapatkan Nobel karena pembahasannya dalam persoalan ekonomi, adalah Arthur Lewis dan Theodore Schultz pada tahun 1979, Amartya Sen (1998), dan Joseph Stiglitz (2001). Kajian Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan berbeda dengan Ekonomi yang ’tradisional’. Ekonomi tradisional berhubungan dengan efisiensi, alokasi sumber daya dengan biaya sedikit dan pertumbuhan yang optimal sepanjang jangka waktu tertentu juga dalam memproduksi barang dan jasa.
Apa bedanya Ekonomi Pembangunan sama Ekonomi Politik, terus Ekonomi as usual (apa ya, masak kang Todaro menamakannya dengan ‘Tradisional’). 2b continued…
Ternyata persoalan pembangunan di Republik ini tidak cuma terjadi di tempat wonge dhewek, namun juga kejadian di belahan dunia lainnya. Bayangpun coba!
Kemiskinan? Gap antara kaya dan miskin? Cape deh –itu mah biasa.
Totalnya terdapat ¾ penduduk dunia dari 6 milyar yang ada saat ini, hidup dalam ketidakberuntungan. Mereka hidup dalam serba kekurangan, tidak sehat, buta huruf, menganggur dan masa depan yang tidak pasti. Hal itu dapat terjadi oleh karena standar hidup antar belahan dunia yang berbeda.
Sebagai contoh rata-rata keluarga di Amerika Utara yang mempunyai pendapatan 48 ribu dollar. Mereka tinggal di rumah yang nyaman dengan kebun yang apik dan 2 (dua) buah mobil. Bandingkan dengan perdesaan di Asia. Rata-rata 1 rumah dihuni oleh 10 orang (5 anak, 2 orang tua, ditambah bibi dan paman, atau malahan nenek/ kakek), dengan pendapatan 250 sampai dengan 300 dolar setahun. Jauh lagi ke Afrika, kita akan menemukan kehidupan yang lebih tragis. Mereka hidup dalam segala keterbatasan –bahkan beberapa ada yang hidup secara subsisten. Mereka tidak punya pendapatan dari yang dihasilkan, karena semua makanan, pakaian, rumah, dan barang yang mereka hasilkan adalah untuk konsumsi diri mereka sendiri.
Kasus pelayanan publik yang terjadi di Asia Afrika adalah sering absennya guru, masih langkanya listrik, jarangnya makan anak-anak. Sebenarnya di Amerika Selatan terjadi kasus yang hampir sama, tepatnya terjadi kesenjangan. Hanya dalam jarak dekat di seputar gedung-gedung bertingkat terdapat kawasan kumuh.
Malahan berdasarkan laporan WTO, dalam beberapa tahun terakhir kesenjangan dan ketidakmerataan pendapatan dunia meningkat tajam. Disebutkan pula bahwa sekitar delapan persen pendapatan dunia hanya diperuntukkan seperlima orang-orang kaya dunia. Padahal data yang dirilis oleh berbagai lembaga kemanusiaan menunjukkan bahwa kelaparan dan kemiskinan di Benua Afrika dan di wilayah lain, terus meningkat. Pada tahun 1990, dari 227 juta jumlah orang miskin di Afrika meningkat hingga 313 juta orang pada tahun 2001.
Kesenjangan di Indonesia? Morgan Stanley, perusahaan investasi bertaraf internasional, tahun lalu merilis data spektaluler. Saat ini, sekira ada 3.328 keluarga di Indonesia membekap aset USD 5-20 juta, dan 167 keluarga menyimpan aset USD 20-100 juta. Dari jumlah ini, 80 persen berdomisili di Jakarta dan 10 persen tinggal di Surabaya. Ambil contoh Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur ini, ada 420 keluarga kaya dengan aset USD 5-20 juta dan 21 keluarga lainnya beraset USD 20-100 juta. Di Bandung, sedikitnya ada 167 keluarga memiliki USD 5-20 juta dan 8 keluarga lainnya mengenggam USD 20-100 juta. (opini Jawa Pos, Minggu 18 Juni 2006).
So bagaimana menganalisisinya. Kita butuh Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (Economic Development). Studi ekonomi pembangunan sendiri tergolong baru, meski ada pihak yang menyebut bahwa ahli pertama yang menyebutnya adalah Adam Smith –melalui bukunya The Wealth of Nations yang dipublikasikan pada tahun 1776. Masih banyak kalangan yang menyatakan bahwa ekonomi pembangunan sebagai sebuah ilmu belum mempunyai wilayah yang spesifik layaknya ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi ketenagakerjaan, keuangan publik, pun ekonomi moneter.
Studi Ekonomi Pembangunan berbeda dengan perekonomian negara maju yang cenderung kapitalis (termasuk ekonomi modern yang cenderung Neoklasik). Juga berbeda dengan perekonomian negara yang cenderung sentralistis (lebih ke arah ’marxist’ atau ekonomi komando). Ilmu ini tidak lebih berada di wilayah pembahasan kemiskinan, negara miskin /terbelakang dengan berbagai latar belakang orientasi ideologinya, budaya yang beragam, dengan berbagai permasalahan ekonomi.
Beberapa tokoh ekonomi yang mendapatkan Nobel karena pembahasannya dalam persoalan ekonomi, adalah Arthur Lewis dan Theodore Schultz pada tahun 1979, Amartya Sen (1998), dan Joseph Stiglitz (2001). Kajian Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan berbeda dengan Ekonomi yang ’tradisional’. Ekonomi tradisional berhubungan dengan efisiensi, alokasi sumber daya dengan biaya sedikit dan pertumbuhan yang optimal sepanjang jangka waktu tertentu juga dalam memproduksi barang dan jasa.
Apa bedanya Ekonomi Pembangunan sama Ekonomi Politik, terus Ekonomi as usual (apa ya, masak kang Todaro menamakannya dengan ‘Tradisional’). 2b continued…
No comments:
Post a Comment