May 20, 2007

Negara, Pasar, Masyarakat


Pasar adalah sebuah kekuatan tak tampak (invisible hand) yang non-Negara, yang identik dengan swasta. Kekuatan swasta tersebut termanifestasi secara kuat melalui multi nasional corporates (MNC) yang mengajak konsumen untuk membeli produknya di media –terutama iklan di televisi.
Pasar dengan demikian merupakan kekuatan bisnis yang sangat besar, bahkan melampaui kekuatan Negara dalam banyak hal. Hal ini ditengarai misalnya besarnya kekayaan MNC dibandingkan cadangan devisa negara sedang berkembang. Masyarakat terwakili melalui lembaga civil society semacam LSM atau NGO, kelompok agama dan lembaga independen lainnya. Masyarakat dapat juga dipahami sebagai suara mayoritas yang pada masa sekarang aspirasinya semakin mengemuka di berbagai media massa. Pertanyaannya, ke mana arah (quo vadis) interaksi ketiganya?
Interaksi pada Masa Lalu
PADA masa Orde Lama dan Orde Baru terminologi ’negara’ sering diidentikan dengan Pemerintah. Bahkan menjadi individual –yakni Negara adalah Presiden- ketika Bung Karno menyebut dirinya sebagai Presiden seumur hidup, atau sebagai Pemimpin besar revolusi. Demikian pula pada masa Orba kekuatan pak Harto sangat kuat sehingga setiap kritikan terhadapnya dari beberapa pihak yang dianggap ’berbahaya’ sering dicap melanggar UUD 45 (seperti Suryadi –mantan Ketua PDI- yang pernah menyarankan perlunya dibatasi kekuasaan Presiden) bahkan sampai subversif (kasus Budiman Sudjatmiko dkk).
Tetapi berbeda dengan Orla, Orba lebih mampu menjalin kerjasama yang ’mesra’ antara negara dan pasar –dengan meminimumkan peran masyarakat. Kekuatan masyarakat diberangus dalam kerangka stabilisasi sosial politik. Pada satu sisi kestabilan tersebut bermanfaat untuk perencanaan pembangunan –melalui Repelita dan Jangka Panjang- sehingga pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7% per tahun dengan inflasi rendah. Tetapi pada aras politik dan demokratisasi, kebijakan masa mengambang membuat masyarakat tidak tersalurkan potensi atau aspirasinya untuk pembangunan. Pada sisi lain, Orba membuka pintu lebar bagi para investor luar negeri untuk datang. Para investor menjalin kerjasama dengan Negara (melalui kongkalikong dengan aparat pemerintah) untuk menanamkan modalnya.
Tetapi kejayaan itu runtuh oleh masyarakat yang menginginkan reformasi pada tahun 1998. Kekuatan masyarakat –yang termanifestasi dalam mahasiswa- pada saat itu mampu menjungkalkan Negara. Meski banyak analis menggunjingkan bahwa pasar bekerjasama dengan masyarakat untuk menggulingkan Negara –seperti adanya sinyalemen pendanaan lembaga internasional juga MNCs kepada sekelompok masyarakat untuk demo menuntut reformasi- tetapi hampir seluruh masyarakat setuju bahwa perlu adanya perombakan pada pimpinan nasional (dengan atau tanpa kerjasama bersama pasar).
Pasca runtuhnya Orba, gelombang reformasi sering membuat bias siapakah representasi dari ketiganya –terutama yang layak untuk mewakili masyarakat. Sering terjadi bentrokan antar masyarakat yang mewakili ’golongan A’ ataukah ’golongan B’. Namun terlihat bahwa pada masa transisi ke arah demokrasi, pasar lebih kuat untuk mengantisipasi akan ketidakpastian. Contoh yang paling tepat dalam hal ini adalah privatisasi BUMN (menurut Shackleton (1970), privatisasi adalah “pemindahan kepemilikan perusahaan sektor publik ke swasta”, atau Dunleavy (1980) bahwa “pemindahan permanen aktivitas produksi barang dan jasa yang dilakukan perusahaan negara ke pihak swasta”). Privatisasi merupakan contoh bagaimana pengurangan peran Negara dalam perekonomian dan sebaliknya meningkatkan peran swasta (atau pasar). Pasar dalam skala dunia mempergunakan globalisasi sebagai kedoknya. Dengan dalih pasar bebas untuk kemajuan bersama, ia memaksakan kehendak kepada negara sedang berkembang.
Interaksi pada Masa Sekarang dan Mendatang
SEPERTI telah disebut di muka bahwa pada saat ini pasar telah jauh meninggalkan kekuatan masyarakat dan negara. Namun ibaratnya hukum law of diminishing return pasar nantinya akan mengalami titik jenuh dan mengalami keruntuhan. Sebuah hipotesis yang sangat awal tentunya. Prahalat dalam the Bottom of the Pyramid (2005) memberikan saran agar pasar memperhatikan konsumsi masyarakat kelas bawah. Memang pada jaman ini kekuatan konsumsi sangat menggila (consumer driven). Dan masyarakat Amerika Serikat menjadi pionir utama dalam konsumsi dunia.
Maka kolaborasi antara pasar yang berusaha mendekati masyarakat tercipta melalui iklan yang mengharuskan setiap orang cuci tangan dengan mempergunakan merk sabun tertentu. Tidak hanya masyarakat, pasar pun mendekati negara, yaitu dengan mengajak kerjasama –misalnya- Departemen Kesehatan dalam iklan cuci tangan tersebut.
Pada satu sisi, kerjasama antara pasar-masyarakat-negara mampu memecahkan problematika tertentu. Dulu pada era sebelum Gubernur Sutiyoso, setiap Gubernur DKI dipusingkan dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Pernah diadakan kebijakan razia KTP untuk memastikan apakah dia warga DKI atau bukan. Tetapi hal ini cukup solved dengan adanya acara ’Pulang Kampung’ di televisi. Sebuah kerjasama antara Pasar (berupa iklan, dan media televisi), Negara (pemerintah provinsi DKI), dan masyarakat (mereka yang ’dipulangkan’).
Penutup
DARI segi kuantitas, masyarakat merupakan yang terbesar. Namun bagian yang terbesar ini sangat rentan untuk terkotak-kotak dan bahkan ’disusupi’ oleh salah satu kekuatan –apakah masyarakat atau pasar. Dilihat dari kualitas, masyarakat juga merupakan titik terlemah. Pemberdayaan kepada anggota masyarakat menurut hemat saya perlu dilakukan dengan pendidikan. Lalu ke mana arahnya? Sepertinya akan ada interaksi tawar menawar antara pasar dengan negara, kemudian pasar dengan masyarakat, dan masyarakat cenderung untuk ’emoh’ dengan negara. Gitu kali.

No comments: