May 30, 2007

100 tahun Gugurnya Sisingamangaraja

Kenalkah Anda dengan Raja SISINGAMANGARAJA XII, seseorang yang wajahnya kita kenal lewat duit seribuan rupiah dengan ’janggutnya’ yang terkenal itu... Seorang pahlawan nasional yang pada bulan Juni nanti menginjak tepat 100 tahun gugur. Dear Readers, dia ternyata lebih heroik daripada Spiderman III. Ada hikmahnya juga nih, garagara ada kerjaan kantor jadi deh Gw mengenal siapa itu Sisingamangaraja)

PADA tanggal 02 Juni akan ada rangkaian peringatan 100 tahun gugurnya Raja SISINGAMANGARAJA XII. Seorang Raja sekaligus pahlawan nasional, yang bertempat di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Eee sebentar ...Humbang Hasundutan. Aneh gak sih nama itu. Dulu aku kira namanya Kumbang Kasundutan, ketika pertama kali kudengar dari Dr Nuzul Achjar, tetapi setelah confirm dengan pegawai DPU Kabupaten/kota Nias yaitu Bernard Nazara namanya adalah Humbang Hasundutan. Sebuah kabupaten yang baru muncul akhir-akhir tahun ini karena pemekaran.
Anyway, kita kembali ke laptop ..eh ke Raja Sisingamangaraja XII. Dia pahlawan yang dicinta sekaligus dibenci. Dicinta oleh orang batak yang Islam, tetapi dibenci orang Batak yang Kristen. Diceritakan bahwa Raja ini membakar kampung-kampung tempat orang Kristen, padahal nih maksud sebenernya gitu Raja ini berusaha membumihanguskan orang-orang Belanda yang memakai gereja (istilahnya zending) sebagai markasnya. Saking pusingnya maen perang-perangan (baca: perang beneran) Belanda lalu melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan penobatan Si Singamangaraja sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Si Singamangaraja menolak tawaran itu. Dikasih jabatan empuk malah nolak –mending perang. Gila nggak tuh.
Nah apesnya Raja Sisinga malah dimusuhi orang Batak laen yang didekati Belanda, atawa yang dimanfaatkan oleh penjajah. Isu ini berkembang jauh bahkan sesudah kematian Sisinga. Sampe-sampe pernah tahun 1969 (tepatnya tanggal 1 Oktober 1969) di Soposurung Balige, seorang Bupati K.D.H. Tapanuli Utara mengatakan bahwa keterlibatan orang-orang Batak yang ikut menyerang Si Singamangaraja XII sebagai “oknum-oknum yang mengkhianati perjuangan bangsa” –Presiden waktu itu (pak Harto) juga hadir pada acara tersebut. Padahal bisa aja mereka yang memusuhi Si Singa adalah Batak Kristen yang kaaffah, alias yang murni memegang teguh keyakinannya, yang tidak menjilat kepada kekuasaan Belanda.
Dan tentang Batak Kristen yang membenci Sisinga. Pendeta (asing) di Batak satu-satunya yang masih hidup adalah Nomensen. Nah si nomensen ini bersifat netral –tidak memihak kubu manapun. Karena dia orang Jerman. Eeee wait a minute, jadi inget ceritanya Prof Sukadji Ranuwihardjo deh. Dulu waktu gw sit-in di kuliah Ekonomi Indonesia sekitar tahun 1998 dia cerita begini, ”Saudara-saudara sekalian, sewaktu saya jadi Dirjen Dikti pernah menemani Diplomat Indonesia menerima delegasi Jerman. Diplomat ini orang Batak lalu membuka dilaog dengan joke. Katanya: di darah saya yang Batak ini mengalir darah Jerman... Karena dulu pendeta-pendeta Jerman yang datang ke Indonesia dimakan oleh bangsa kami. Hanya satu yang masih hidup: Nomensen...“
Kembali ke laptop ..eh ke Raja Sisingamangaraja XII, bahwa berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 590 tahun 1961 tanggal 19 Nopember 1961 Sisingamangaraja XII oleh Pemerintah RI dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional. Gelar ini merupakan bentuk penghargaan tertinggi dan terhormat yang diberikan oleh pemerintah kepadanya atas segala peran dan perjuangan beliau dalam merebut kemerdekaan RI khususnya didaerah Tanah Batak - Sumatera Utara.

Pembaca sekalian,
ADA ungkapan yang menyatakan bahwa: Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Tetapi ironisnya pada masa sekarang ini kita rasakan penghargaan terhadap jasa-jasa pahlawan makin luntur. Kita dan generasi muda perlu diingatkan kembali arti penting dan makna Pahlawan yang sarat nilai sejarah. Kita harus sadar, semua yang ada dan pembangunan bisa berjalan berkat tetesan darah para pejuang. Bangsa Indonesia tidak akan maju dan mempunyai character building jika tak mampu menghargai pengorbanan para pahlawan.
Mereka yang disebut “pahlawan” adalah seseorang warga negara yang telah berjasa besar dan luar biasa kepada bangsa dan negara, rela berkorban dan berjuang tanpa pamrih. Dikatakan pahlawan karena mereka merupakan sosok panutan yang telah melahirkan nilai-nilai keteladanan yang luhur dan semangat kepahlawanan (heroisme) yang pada jamannya mewarnai sikap dan perilaku kehidupannya dalam memperjuangkan nasib bangsa dan negara ini.
Jumlah pahlawan nasional sampai dengan tahun 2006 kemarin adalah sejumlah 143 orang. Dari sejumlah pahlawan itu jangan melupakan “pahlawan tanpa tanda jasa” atau bapak/ibu Guru kita yang jumlahnya mencapai 3 juta orang di Indonesia.

Pembaca yang budiman,
PEMDA Humbang Hasundutan akan menyelenggarakan Seminar Nasional tangal 02 Juni 2007 yang mengambil tema Menatap Sisingamaraja XII di Panggung Sejarah: Mewarisi Etos Perjuangan Sisingamaraja XII bagi Indonesia Abad XXI. Perlu ditegaskan bahwa makna “Mewarisi Etos” berarti fokusnya pada ‘etos’, bukan ‘mitos’. Mewarisi Etos berarti meneladani jiwa dan semangat perubahan, bukan mitos yang bersifat klenik atau misteri. Selama ini terdapat mitos bahwa Sisingamangaraja mampu mendatangkan hujan dsb -itu kan mitos. Tetapi etos melawan penindasan, dan penolakan bujukan atas jabatan, itu yang kudu dilestarikan.
Mewarisi etos sangat relevan terutama dikaitkan peristiwa kebangsaan akhir-akhir ini ketika kita masih berada dalam suasana peringatan Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei yang lalu. Peringatan Kebangkitan Nasional merupakan perode awal tumbuhnya rasa nasionalisme dikalangan rakyat Indonesia yang pada saat itu masih bersifat kedaerahan dan belum menjadi semangat yang berwawasan kebangsaan.
Perjuangan Si Singamangaraja XII harus ditiru oleh generasi sekarang, untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat secara luas. Selama ini kita tidak mempunyai wahana untuk sosialisasi pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan secara luas, padahal nilai kepahlawanan perlu tetap dilestarikan untuk menunjang eksistensi bangsa dan negara di tengah pergaulan dunia.
Menghargai jasa pahlawan berarti kita tidak melupakan sejarah. Ada kata-kata hikmah bahwa ”masa lalu adalah sejarah, masa depan itu misteri, masa kini adalah karunia”. Dengan sejarah mari kita mensyukuri hari ini, dan merencanakan masa depan.
Pertanyaannya, bagaimana kita merencanakan ke depan dan berefleksi dengan hal-hal yang telah kita lakukan? Kita perlu kembali ke Pancasila. Peradaban dan kebudayaan tidak bisa lepas dari proses pendidikan untuk memanusiakan manusia dalam kerangka keindonesiaan yang kita miliki.
Oleh karenanya, peradaban seharusnya didesain oleh nilai-nilai kehidupan yang bernas untuk membangkitkan kembali keterpurukan bangsa ini. Pancasila sebagai ideologi terbuka yang memungkinkan tumbuhnya nilai-nilai baru, sehingga harus terus-menerus disegarkan dan dihidupkan agar Pancasila tetap menjadi "ideologi kehidupan" dalam menjawab tantangan masa depan. Dengan landasan Pancasila pendidikan bangsa memperoleh landasan spiritual, moral dan etika yang bersumber pada ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Sikap budaya harmonis itu banyak persamaannya dengan sikap dan budaya berbagai bangsa di Asia –sehingga kita sebut budaya Timur. Namun, sikap budaya itu berbeda, bahkan bertentangan dengan sikap budaya dunia Barat yang sejak Renaissance di abad ke-15 mengambil sikap budaya yang menaklukkan alam (to conquer nature). Sisingamangaraja menolak invasi Belanda dalam hal ini, karena tidak sesuai dengan harmoni.
Jika sikap budaya Harmoni memandang kebersamaan atau masyarakat sebagai pilar kehidupan, maka sikap budaya Barat menganggap individu manusia sebagai nilai utama. Itu sebabnya dunia Barat menghasilkan individualisme dan liberalisme, diikuti materialisme yang bermuara pada imperialisme dan kolonialisme.
Maka perayaan untuk memperingati sumbangsih Raja Sisingamangaraja berarti mengembalikan memori kita kepada jasa pahlawan, selain itu mengingatkan akan jasa-jasa pahlawan dan para pendiri Bangsa, yaitu melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Kesalahan orde terdahulu melalui P4 adalah membuat Pancasila menjadi seakan-akan kita sebagai warga negara harus monoloyalitas terhadap seseorang, terhadap rejim bersangkutan. Padahal tidak, kita harus monoloyalitas kepada NKRI. Titik.

May 28, 2007

Pintu Hidayah: The Patriot



Hari Ahad tanggal 26 Mei 2007 pada jam 19.00 – 21.00 wib di Trans7 dan RCTI sama-sama menayangkan film. Rcti dengan sinetron Pintu Hidayah berjudul “Anak Sial” dan Trans7 dengan film Holywood berjudul The Patriot. Kami berdua berusaha melihat keduanya –dengan mengganti program saat jeda iklan. Kesimpulannya: film Mel Gibson berjudul Patriot tersebut lebih layak disebut dengan Pintu Hidayah. Dia lebih memberikan petunjuk (hidayah) daripada sinetronnya Enno Lerian sebagai Anak Sial. So judul yang lebih tepat adalah Pintu Hidayah: The Patriot.

Film The Patriot bersetting di Carolina Selatan pada tahun 1776, wilayah itu dihuni oleh warga Amerika. Mereka merencanakan pemberontakan terhadap pemerintah Inggris karena konflik yang berkepanjangan dan tidak setuju untuk membayar pajak yang diwajibkan. Benjamin Martin (Mel Gibson) seorang veteran perang Perancis dan Indian yang telah memutuskan untuk tidak berperang lagi demi kedamaian keluarganya. Namun anak laki-lakinya yang menjelang dewasa, Gabriel (Heath Ledger) dan Thomas (Gregory Smith) bergabung dalam perang revolusioner di Amerika tersebut untuk menyingkirkan tentara Inggirs. Kolonel Inggris William Tavington (Jason Issacs) yang kejam menangkap Gabriel dan menggatungnya. Ada adegan pembakaran gereja dengan jamaah yang ada di dalamnya. Ketika Thomas berusaha menyelamatkan Gabriel, Tavington menembaknya. Akhirnya Benjamin tidak mempunyai pilihan lain selain ikut berperang demi kemerdekaan Amerika.

Film Pintu Hidayah: Anak Sial bercerita tentang seorang anak yang dicap ’sial’ (diperankan Enno Lerian) oleh Ayah kandungnya. Menurut Ayahnya -yang diperankan dengan baik sekali oleh Eeng Saptahadi- si Enno telah menyebabkan ibu kandungnya meninggal (karena melahirkannya). Kedua, si Enno membuat ibu tirinya keguguran –karena meninggalkan lantai kamar mandi yang licin sehingga ibu tirinya kepeleset. Ketiga Enno membuat neneknya meninggal –karena terlambat memberikan obat saat sang nenek sesak nafas. Si Enno sering ditampar ama Ayah, dibentak-bentak ama ibu tiri, dan ditindas kakak tirinya. Apalagi Enno pernah mempergoki ibu tirinya saat pacaran dengan kernet angkot, dan dianggap merebut pacar si kakak tirinya. Apes deh. Akhir cerita adalah sang Ayah –berprofesi sebagai sopir truk sehingga jarang di rumah- memergoki ibu tirinya selingkuh, kemudian ibu tiri diusir, dan ibu tiri tersebut kecelakaan ama selingkuhannya. Sang Ayah malah terkena stroke dan menyesal bahwa selama ini telah menyiksa anak sial tersebut.

Mengapa The Patriot lebih memberikan hidayah? Pertama bahwa film ini memberikan background sejarah yang heroik, bahwa untuk mencapai kesuksesan orang harus bekerja keras –bahkan kalau perlu perang dan meninggalkan seseorang yang kita cintai (keluarga dalam hal ini). Film The Patriot diadaptasi dari kisah nyata yang disesuaikan (bukan 100% real), tetapi membuat penonton akan tergiring bahwa hidup akan menghadapi kasih sayang dan kebencian pada saat yang bersamaan. Sementara sinetron Anak Sial memberi kesan bahwa orang yang shalat malah kebanyakan hidupnya sial, difitnah, dan penakut. Meski nantinya mendapat ‘kemenangan’ tetapi kesuksesan tersebut melalui keberuntungan (ketika Ayah memutuskan untuk tiba-tiba pulang dan pergoki istri). Bukan di-planning sebelumnya.Coba bayangkan misalnya Anak Sial tsb mempunyai sedikit keberanian untuk ngomong ke ayahnya mengenai kelakuan ibu tirinya –dalam hal selingkuh atau menindas ibu mertua. Hal itu mengindikasikan bahwa dia membiarkan kezaliman di muka bumi. Selain itu, jaringan mereka sebagai umat Islam lemah karena tidak ada koordinasi dengan tetangga (diadegankan bagaimana para tetangga menggunjing kelakuan ibu tirinya tetapi tidak mampu bertindak).

Di akhir cerita dinukilkan surat Al Ankabuut yang maaf saya lupa ayatnya. Tetapi bukankah Cerita sinetron Pintu Hidayah: Anak Sial sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan surat tsb. Malah the Patriot ada aura hubungannya.
Apa isi Al Ankabut secara keseluruhan? Al 'Ankabuut (surat ke-29 dalam Al Qur'an yang terdiri atas 69 ayat) berhubungan dengan perumpamaan laba-laba (Arabic: Al 'Ankabuut) pada ayat 41 surat ini. Allah mengumpamakan para penyembah berhala-berhala itu dengan laba-laba yang percaya kepada kekuatan rumahnya sebagai tempat ia berlindung dan tempat ia menjerat mangsanya, padahal kalau dihembus angin atau ditimpa oleh suatu barang yang kecil saja, rumah itu akan hancur. Begitu pula halnya dengan kaum musyrikin yang percaya kepada kekuatan sembahan-sembahan mereka sebagai tempat berlindung dan tempat meminta sesuatu yang mereka ingini, padahal sembahan-sembahan mereka itu tidak mampu sedikit juga menolong mereka dari azab Allah waktu di dunia. Eee sebentar kaum musrikin bisa dianalogkan dengan pembakar tempat ibadah (gereja dalam hal ini) kan ya?
Surat ini menceritakan juga tentang keimanan: bukti-bukti tentang adanya hari berbangkit dan ancaman terhadap orang-orang yang mengingkarinya, tiap-tiap diri akan merasakan mati dan hanya kepada Allah mereka akan kembali; Allah akan menjamin rezki tiap-tiap makhluk-Nya (sepertinya bagian terakhir ini yang sekiranya berhubungan dengan sinetron Pintu Hidayah tersebut)
Surat tsb berhubungan juga dengan kewajiban berbuat baik kepada dua orang ibu bapak (baik sinetron hidayah maupun film patriot menceritakan hal ini). Cobaan itu perlu untuk menguji keimanan seseorang, usaha manusia itu manfaatnya untuk dirinya sendiri bukan untuk Allah. Perlawanan terhadap kebenaran pasti hancur.
Sebenarnya tidak hanya kali ini film Pintu Hidayah mengambil sekuel yang keji, apes, dan mengandalkan keberuntungan. Tetapi lebih apesnya, pemirsanya banyak. Data Television Audience Measurement dari AGBNielsen Media Research tentang rating acara televisi periode 11-17 Desember 2005 menunjukkan, Pintu Hidayah adalah pemegang rating tertinggi yang menguasai pangsa pemirsa 31,1% dari total 4.223 pemirsa yang menonton pada waktu prime time. So? Sinetron ini ada dan terus berlanjut sekuelnya karena pasarnya banyak.

Akhirnya mengutip surah Al-'Ankabut (29) ayat 11-12
Dan sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman; dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik. Dan berkatalah orang-orang yang kafir kepada orang-orang yang beriman:"Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu", dan mereka (sendiri) sedikitpun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka.Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta.
Quran terjemahan By Prof. Dr. RHA Soenarjo

May 27, 2007

Indonesia’s Approaches to Combat Poverty

keywords: poverty in Indonesia, alleviation poverty, empowerment, reduction the number of poor people, BPS or “Badan Pusat Statistik” (Central Statistics Agency), GOI or “Government Of Indonesia”, Rp or "Rupiah" (Indonesian currency)
INDONESIA is home to the largest Muslim communities in the world. Although 88% of its population are Muslims, Indonesia is not an Islamic state. Indonesian Muslims are well-known for their moderation and being tolerant. Indonesia with 215 million people is 3rd democratic biggest country –after India (1,1 billion) and US (276 million). The population of Indonesia is the fifth largest in the world, after the People's Republic of China, India, the Soviet Union and The United States of America. The growth of Indonesian people is 2,3 % / 2,5 % per year that at present it has achieved - 170 million people and it is estimated to become 250 million people in the year 2000. It terms of geography, 61,9 % of Indonesia's population is found on the island of Java whose territory accounts for only 7 % of the whole of the Indonesian territory.
Indonesia is located between 6o08’ north and 11o15’ south latitude, and 94o45’ to 141o05’ east longitude. The Republic of Indonesia is divided administratively into 32 provinces (26 provinces in 1999). The provinces were further subdivided into 420 regencies. Indonesia has a total area of 9.8 million square kilometer. As a maritime country, it comprises of sea area of 7.9 millions square kilometers (including Exclusive Economic Zone) or 81 percent of total area; and some land area of about 1.9 million square kilometers. It is a country with many rivers and volcanoes, 52 of them are active volcanoes. Indonesia’s population is heavily concentrated in Java Island, which inhabited by around 59,19 percent, although the area of Java is only 7 percent of total Indonesia. Meanwhile Maluku and Irian Jaya, which have around 26 percent of total area, are inhabited only by 2 percent of total population. According to the total number of population that sex ratio of Indonesian population in 2000 was 99.84%, in which the number of male 101,637,886 and female 101,800,313.
Indonesia possesses abundant natural resources. Its geographic position is a foundation for a high potential in economic; its coastline is the longest in the world; its climate allows continuous use of the land all year long; it has a rich amount of woods and earth minerals. They all contribute to make Indonesia an able country, but that huge potential hasn’t contributed much to the welfare of the people. The population still suffers from poverty, marked by vulnerability, powerlessness, isolation, and inability to express aspiration. In turn, those conditions lead to : (i) high level of the people’s social-economic burden, (ii) low level of human resource’s quality and productivity, (iii) low level of the people’s participation, (iv) decreased quality of public order and safety, (v) decrease in trust to bureaucracy and its ability to serve the people, and (vi) threat of lost generation. Unfortunately, the decline of poverty degree in the last three decades is still highly vulnerable to changes in the economic and political conditions as well as social conflicts and natural disasters in various regions. This indicates that there are several flaws in previous poverty alleviation attempts that need radical reformation. Those flaws include: (i) fixed orientation to macro-economic growth; (ii) centralized policies; (iii) mainly consists of charity purpose; (iv) treats the people as objects; (v) narrow economic-based poverty definition; (vi) generalized poverty problem assumption and solution.

Level of Development: Poverty, Education and Health
FROM history we can learning, Development do not proceed as smoothly as a predetermined plan. The life of nation and state experience various threats, challenges, resistances and troubles. Ideal life of state such as initiated by our founding fathers in the Preamble of Indonesian constitutional (Undang Undang Dasar 1945) –by realizing common prosperity, educating national life, protecting the whole nation and fatherland of Indonesia, and following world order- fluctuates up and down in its implementation. Not only problems come from within, but also outside. When trying to strengthen inside, our nation faces challenges of competition in this global era with other nations.
Economic crisis, which began in mid 1997 has increased the number of poor people in Indonesia. By the year 1997, the number of poor people was around 34.5 millions (using 1998 standard), and that is around 17.7 percent of total population. The poverty incidence increase significantly to become 49.5 millions by the end of 1998 (24.2 percent), and it decreased slightly (2.2 percent) to 48.4 millions people in February 1999. Approximately 67.6 percent of the poor families reside in rural area. By August 1999, the poverty incidence decreased further to 37.5 millions (18.2 percent), especially due to the decline in food prices. These numbers indicate, a slow but continuous, improvement in the Indonesian economy. The number of poor family in urban area increased by around 10.8 percent, from 17.6 millions in 1998 to 15.7 millions people in 1999, however in rural area, the number increased by about 2.5 percent. Education level of the Indonesian people is represented by the number of people age 5 years and over who have never attended school, which was 12.59 percent in 1999. As compared to the number in 1998, this showed a slight decreased of 0.15 percent. Another indicator, the number of people of 10 years or over, who were illiterate was 10.21 percent (5.36 percent urban and 13.46 percent rural). As compared to that of 10.58 percent in 1998 (5.08 percent rural and 13.96 percent rural), the illiterate numbers shows a slight improvement, although it is still in a poor level condition. The latest information related to health problems was taken from the National Socio-Economic Survey (Susenas-1998). The data from the previous month of the survey (January) revealed that percentage of population having: (a) health problem was 25.43; (b) birth delivery assisted by doctor/midwife/other paramedic 51.81; (c) infants immunized 92.81; and length (months) of breast-feeding to 2-4 years children 21.09
Besides, future poverty alleviation attempts need to consider following issues:
Region autonomy and decentralization. Implementations in region autonomy and decentralization policy will give the local governments an opportunity to plan, construct, and implement policies and programs that suits their local characteristics. A careful and accountable resource management by local governments that involves local community has the potential to decrease disparities in any sector.
Demand for good governance. The formation of good governance will cease the chronic growth of corruption, collusion, and nepotism practice among the governments’ officials that brought the country’s bankruptcy. Good governance will give the lower community class the opportunity to benefit from the country’s development.
Globalization. In one hand, globalization has brought an economic recovery to competitive and efficient countries in global market. On the other hand, there are threats that this system will bring economic disparity, marginalization, and social exploitation. Increase in disparity will make poverty alleviation attempts more difficult. Therefore, in order to specify causes of poverty, one cannot be limited to traditional causes such as inequality access to education, urban bias, etc. but it must consider global imbalances in complex interaction between assets, markets, and institutions

Committee for Poverty Alleviation (Komite Penanggulangan Kemiskinan/KPK).
TOGETHERNES in poverty alleviation is manifested in a stakeholder forum called Committee for Poverty Alleviation (KPK). At a common level, KPK represents an indication of Governmental initiative to invite all society components (local areas, entrepreneurs, financial institutions and banking, academics, Non Governmental Organizations, mass organizations, and social political organizations) to sit together on a forum to alleviate the poverty. The strategy of poverty alleviation is community empowerment in 2 (two) ways, that is expenditure reduction and productivity improvement. Focus of the poverty alleviation is a productivity improvement for those of productive ages (15-60 year).
In stipulating this group, besides those of productive ages, there are two other groups, namely those of not-yet productive ages (under 15 year) and those of post-productive ages (above 60 year). These three groups of ages have different treatments. Treatment for those of not-yet productive ages is through a social investment (education especially) and for those of post productive ages is through a social security. While, for those of productive ages is through a productivity improvement. The productive ages are directed to work.
Their access to the business should be more broadly enlarged. In this case, the Coordinating Minister of Social Welfare as Chairman of KPK and Governor of Bank of Indonesia signed a Memorandum of Understanding. The MoU asked Banks to channeling their credits to Micro, Small and Medium Enterprises (MSME). Credit channeling by 14 banks in Year 2002 has accounted for Rp.35,9 trillion or 116% of Rp.30,9 trillion in business plan. In Year 2003, MSME credit is Rp.42,4 trillion with the following description: Micro Credit is Rp.7,5 trillion, Small Rp.15,2 trillion, and Middle Rp.19,7 trillion. In the end of 2003 credit channeling accounted for 61%. For 2004, the business plan is Rp.38,5 trillion.
Perhaps not-relatively-good targets, or 100% of working capital (Micro Small Medium Enterprise, MSME) credit channeling, are overshadowed by prudent mechanism among banking in channeling their credits and, on the other hand, MSME have not yet been capable of fulfilling the conditions of 5Cs (character, condition of economy, capacity to repay, capital, and collateral). For that reason, KPK, in cooperation with Bank of Indonesia, have tried to draw banking near to MSME through providing Bank-Partner MSME with Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) or Business Development Services.
One of another activities of KPK is mainstreaming poverty alleviation program by sector and departmental scope or Non Government Agencies, Mainstreaming is understood as a placement of proper perspective about consistency among strategy, policy, program, goal setting, and messaging mechanism, by prioritizing role synergies among government, private sector, and society in undertaking a poverty alleviation program.

Program Compatibility in Poverty Alleviation
MAINSTREAMING is one effort to harmonize poverty alleviation program. Mainstreaming is required for some reasons. First, it is realized that at the moment Government, private sector, and society have conducted many programs directed to alleviate the poverty. But it is realized that the program has not yet answered the causes and problems of poverty. Second, there is no an integrated program exist among government agencies, inter departments (department non government), local – central governments, private sector and society in alleviating such those poverty problems.
Mainstreaming is needed due to optimization between system and implementation of monitoring and evaluating various policies and programs of poverty alleviation has not been fulfilled. On the contrary, poverty alleviation tends to be project oriented. Incompatibility to role division and understanding of poverty alleviation among Government, private sector, and society make them more ambiguous.
Result of mainstreaming by Bappenas, as Coordinator of KPK for Macro Planning, indicates that in Year 2004, poverty alleviation programs conducted by 14 institutions by sector will amount to 99 with the greatest number of fund of Rp.18,7 trillion. Of the financial sources composition, program fund for poverty alleviation is more purely funded by IDR (Rupiah). Foreign loan in Year 2004 for poverty alleviation is only 17%. It shows that poverty alleviation program through domestic resources have been a commitment among institutions by sector. Poverty alleviation program fund growth Year 2002-2004 is illustrated in the following table. (sorry guys the table couldn’t attach).
---
The above data shows that, during the last 3 (three) years, a greater allocation of fund to poverty alleviation is carried out by Bulog (Logistic Affairs Agency), Depdiknas (Department of Education), Depkes (Department of Health), Depkimpraswil (Department of Regional Infrastructure and Settlement), Depdagri (Department of Home Affair) and Depsos (Department of Social). While, agencies such as Depsos, Depkimpraswil and Depdiknas have carried out the most various types of poverty alleviation programs.
Poverty alleviation program can be conducted both directly and indirectly. Direct program in natures is that whose beneficiary and target group are the poor. This direct poverty alleviation program amounted for 71 or 72% with a total fund of Rp.17,55 trillion.
Indirect program in nature is generally that supporting the effort of poverty alleviation, such as policy facilitation and data and information preparation carried out by BPS (Central Statistic Agency). This indirect program accounted for 28 with a financial value of Rp.1,2 trillion allocated to alleviate poverty.


Conclusion
In this article we emphasized that an effort to equalize a poverty alleviation program will be painful if conducted only by Government, and even only the Central Government. It needs a support of a stakeholder forum merged into a Committee for Poverty Alleviation to formulate a correct strategy and program to alleviate poverty in their local area. It is fair to conceive that society is a key factor to the efficacy of the poverty alleviation program.
If there is a PRSP (Poverty Reduction Strategy Paper) exist at center level, which according to Inpres No. 5 Year 2003, will be finished in September 2004, the activity Local KPK should do is a formulation of relevant strategy referring to their locality activity aspect. This documentation is referred to as formulation of Local PRSP. It is expected Local PRSP can realize aspiration of grassroots to collectively alleviate the poverty.
A concrete form of poverty alleviation program for productive poor is to give them working capitals. For that reason Government is required to share their roles with banking. Governmental should prepare and make MSME bankable and then, when ‘ready’, it is arrested by banking with their credit allocation. Here role of accompany combined into a KKMB becomes important. Their role is to draw MSME near to banking and accompany their business to make them ready to be competitive in market. Thereby, community (the poor one especially) is a leading actor in poverty alleviation.▀ Picture: Kelompok Usaha Bersama (KUBE or similar with "Co-partnering groups") in Klaten, 2006.

Presented by Yuniandono Ahmad, Staff of Komite Penanggulangan Kemiskinan (Committee for Poverty Alleviation), Delegation from The Republic of Indonesia at Malaysia Technical Cooperation Programme 2004, 5-25th September 2004, Institut for Rural Advancement (INFRA), Kementerian Luar Bandar dan Wilayah

May 23, 2007

Negara dan Olahraga


MENURUT Musgrave –lewat bukunya Public Finance: Theory and Practice, 1973- fungsi utama Pemerintah dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah berkenaan dengan alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi alokasi meliputi aspek pengelolaan alokasi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan publik. Fungsi distribusi meliputi aspek pemerataan di dalam pendapatan dan kekayaan masyarakat. Sedangkan fungsi stabilisasi meliputi aspek-aspek pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter. Ternyata fungsi itu gak jauh beda ama Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Pembukaan UUD 45 telah menggariskan bahwa Negara harus mampu pertama melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, kedua memajukan kesejahteraan umum, ketiga mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keempat ikut melaksanakan ketertiban dunia. Fungsi pertama tidak lebih adalah Stabilisasi. Fungsi kedua adalah Distribusi. Fungsi ketiga adalah Alokasi (untuk sektor Pendidikan). Fungsi keempat sama dengan Stabilisasi.
Tetapi dewasa ini dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kompleks seiring dengan meningkatnya permasalahan dan tuntutan peningkatan kualitas kehidupan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah perubahan di dalam fungsi, lingkup dan sifat urusan pemerintahan tersebut di atas. Dalam pola pemerintahan yang berjenjang seperti negara kita ini, perubahan di atas pada akhirnya akan menyentuh hubungan Pusat dan Daerah terutama di dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pembangunan.
Wewenang dan peran negara dalam Olahraga masuk yang mana? Saatsaat ini –dimulai awal tahun ketika Depdagri mengkritik Daerah yang menggunakan APBD untuk dana klub bola- maka peran Pemerintah mulai dipertanyakan kembali untuk komitmen dunia olahraga. Pemerintah juga bisa berkilah bahwa APBD arahnya untuk ’pemberdayaan’ masyarakat enggak cuma sepakbola doang. Kami-kami yang cinta bola ama memperhatikan ekonomi bisa menengahi dengan, ”APBD gak papa buat sepakbola asalkan ada efek multiplier yang besar”. Ini namanya value added, Bung.
Sepakbola ama APBDnya ini lalu diungkit lagi ketika tim bulutangkis Indonesia samasekali (babar blas) tidak mendapatkan gelar juara di Indonesia Super Series. Orang kemudian rindu akan pembinaan jaman dulu –dengan Pemerintah yang lebih dominan membina atlet. Bulutangkis selama ini dikatakan sebagai leading-sector Indonesia, sampai-sampai pak Titus Kurniadi pernah mengusulkan agar Garuda Indonesia menghiasi ornamen-ornamen shuttlecock agar semua tahu lewat olahraga inilah Indonesia jaya. Tapi hasilnya terutama tahun ini? Selama putaran super series digelas semenjak tahun 2007 baru sekali INA dapat –yakni ganda campuran Flandy Limpele/ Vita Marisa di Singapura. Selebihnya adalah runner up dan bahkan gagal di babak awal.

Antara Negara Lain ama Kita
SEWAKTU di tabloid Bola –kebetulan lupa gw tanggalnya- awal bulan Mei ini MJ Kalla menyatakan bahwa ada 2 (dua) model pembinaan olahraga. Satu adalah pemassalan seperti yang dilakukan Brasil dan China. Kedua adalah metoda ’sekolahan’ seperti yang dilakukan USA. Di Malaysia –menurut Rexy Mainaky- modelnya seperti dulu sekolah Ragunan. Sejak usia menengah mereka yang berprestasi disekolahkan di Ragunan tanpa dipungut bayaran.
Ketika tahun 2004 saya ke sana selama sebulan, memang aura olahraga sangat terasa terutama atletik. Hampir setiap pekan berita olahraga diwarnai kompetisi atletik yang berpindah-pindah di hampir setiap Negara bagian.
Kalau di Indonesia pasti kendalanya dana. Bukannya saya mau membela Apbd ke sepakbola tapi olahraga satu ini mempunyai multiplier effect yang terbesar dibandingkan olahraga lainnya. Dari mulai pedagang kecil di seputar stadion, merchandise milik perusahaan sablon, sampe ke pedagang balon. Dari penjual kacang, tukang barang, sama yang ongkang-ongkang (calo kamsudnya).

Salahnya juga perusahaan swasta belum begitu tertarik untuk mendanai klub. Hanya beberapa yang nempel seperti Telkom di kaos Persib, dan JawaPos di Persebaya. Lumayan juga sih karena Antv mau mendanai untuk penyiaran Liga sampai 5 tahun, dan Djarum yang mau nyeponsori mendanai kompetisinya, serta Dji Sam Soe untuk Copa. Tapi yang full 100% untuk klub? Dulu sih ada Pelita Jaya yang punyaknya Bakrie. Terus dulu juga pendanaan untuk Olahraga cukup dari SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Tapi sekarang...

Memang idealnya pendanaan itu dari ‘Pasar’. Maksud saya dari mekanisme supply dan demand antara swasta dan masyarakat. Tapi penjualan merchandise klub dalam hal ini juga tidak begitu signifikan penghasilannya karena pemalsuan. Selain itu penduduk Indonesia lebih ngefans kepada klub asing (masak ada MU Fans Club sih di Jakarta, oh my country).
Lebih ideal lagi pendanaan dari masyarakat sekitar. Contohnya seperti Newcastle United yang bermarkas di Stadion St James Park, yang aslinya milik pemerintah daerah Newcastle, tetapi sekarang sudah menjadi milik pendukung berat The Magpies, masyarakat lokal. Sistem manajemen dan aturan-aturan yang berlaku, ”full” milik Newcastle United, tidak ada campur tangan Pemda.

Penutup
GOVERNMENT of Indonesia alias GoI tetap harus mengadaken intervensi terhadap olahraga. Keinginan Menpora untuk mendirikan Departemen Olahraga menjadi salahsatu alternatif. Tetapi kalau takutnya overlap, mungkin keolahragaan cukup menjadi sub di Depdiknas. Pembangunan di bidang Olahraga menurut hemat saya mencakup pembangunan manusia. Di bidang ini kita bisa bicara soal nasionalisme, ‘bangun jiwa dan badan’, bahkan penanggulangan kemiskinan.
Logika 3M pantas dipakai untuk memajukan olahraga, kita butuh Money (gimana kalau semacam SDSB tetapi gak judi... Cape deh), Man (pengurus bond OR kalau bisa yang mantan atlet), dan Material (anak-anak yang bergizi sebagai atlet masa depan). So di alam keindonesiaan kita sekarang Negara tetap alias mutlak menjadi pionir. Sehabis GoI saya yakin pasar dan masyarakat akan menyusul.
Yuni Andono Achmad

May 22, 2007

Todaro-1


MEMBACA kembali buku Michael P. Todaro, Economic Development, 8th edition, sepertinya menjadi semakin menarik. Selalu ada hal-hal yang kelewatan. Hebatnya, buku ini merekam hampir setiap seluk beluk fenomena pembangunan di berbagai belahan dunia. Menghubungkannya: antara satu negara dengan negara, antara Negara maju dengan Negara sedang berkembang (NSB). Lalu yang dicari oleh para akademisi: hubungan antara teori dengan praktik.
Ternyata persoalan pembangunan di Republik ini tidak cuma terjadi di tempat wonge dhewek, namun juga kejadian di belahan dunia lainnya. Bayangpun coba!
Kemiskinan? Gap antara kaya dan miskin? Cape deh –itu mah biasa.
Totalnya terdapat ¾ penduduk dunia dari 6 milyar yang ada saat ini, hidup dalam ketidakberuntungan. Mereka hidup dalam serba kekurangan, tidak sehat, buta huruf, menganggur dan masa depan yang tidak pasti. Hal itu dapat terjadi oleh karena standar hidup antar belahan dunia yang berbeda.
Sebagai contoh rata-rata keluarga di Amerika Utara yang mempunyai pendapatan 48 ribu dollar. Mereka tinggal di rumah yang nyaman dengan kebun yang apik dan 2 (dua) buah mobil. Bandingkan dengan perdesaan di Asia. Rata-rata 1 rumah dihuni oleh 10 orang (5 anak, 2 orang tua, ditambah bibi dan paman, atau malahan nenek/ kakek), dengan pendapatan 250 sampai dengan 300 dolar setahun. Jauh lagi ke Afrika, kita akan menemukan kehidupan yang lebih tragis. Mereka hidup dalam segala keterbatasan –bahkan beberapa ada yang hidup secara subsisten. Mereka tidak punya pendapatan dari yang dihasilkan, karena semua makanan, pakaian, rumah, dan barang yang mereka hasilkan adalah untuk konsumsi diri mereka sendiri.
Kasus pelayanan publik yang terjadi di Asia Afrika adalah sering absennya guru, masih langkanya listrik, jarangnya makan anak-anak. Sebenarnya di Amerika Selatan terjadi kasus yang hampir sama, tepatnya terjadi kesenjangan. Hanya dalam jarak dekat di seputar gedung-gedung bertingkat terdapat kawasan kumuh.
Malahan berdasarkan laporan WTO, dalam beberapa tahun terakhir kesenjangan dan ketidakmerataan pendapatan dunia meningkat tajam. Disebutkan pula bahwa sekitar delapan persen pendapatan dunia hanya diperuntukkan seperlima orang-orang kaya dunia. Padahal data yang dirilis oleh berbagai lembaga kemanusiaan menunjukkan bahwa kelaparan dan kemiskinan di Benua Afrika dan di wilayah lain, terus meningkat. Pada tahun 1990, dari 227 juta jumlah orang miskin di Afrika meningkat hingga 313 juta orang pada tahun 2001.
Kesenjangan di Indonesia? Morgan Stanley, perusahaan investasi bertaraf internasional, tahun lalu merilis data spektaluler. Saat ini, sekira ada 3.328 keluarga di Indonesia membekap aset USD 5-20 juta, dan 167 keluarga menyimpan aset USD 20-100 juta. Dari jumlah ini, 80 persen berdomisili di Jakarta dan 10 persen tinggal di Surabaya. Ambil contoh Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur ini, ada 420 keluarga kaya dengan aset USD 5-20 juta dan 21 keluarga lainnya beraset USD 20-100 juta. Di Bandung, sedikitnya ada 167 keluarga memiliki USD 5-20 juta dan 8 keluarga lainnya mengenggam USD 20-100 juta. (opini Jawa Pos, Minggu 18 Juni 2006).
So bagaimana menganalisisinya. Kita butuh Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (Economic Development). Studi ekonomi pembangunan sendiri tergolong baru, meski ada pihak yang menyebut bahwa ahli pertama yang menyebutnya adalah Adam Smith –melalui bukunya The Wealth of Nations yang dipublikasikan pada tahun 1776. Masih banyak kalangan yang menyatakan bahwa ekonomi pembangunan sebagai sebuah ilmu belum mempunyai wilayah yang spesifik layaknya ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi ketenagakerjaan, keuangan publik, pun ekonomi moneter.
Studi Ekonomi Pembangunan berbeda dengan perekonomian negara maju yang cenderung kapitalis (termasuk ekonomi modern yang cenderung Neoklasik). Juga berbeda dengan perekonomian negara yang cenderung sentralistis (lebih ke arah ’marxist’ atau ekonomi komando). Ilmu ini tidak lebih berada di wilayah pembahasan kemiskinan, negara miskin /terbelakang dengan berbagai latar belakang orientasi ideologinya, budaya yang beragam, dengan berbagai permasalahan ekonomi.
Beberapa tokoh ekonomi yang mendapatkan Nobel karena pembahasannya dalam persoalan ekonomi, adalah Arthur Lewis dan Theodore Schultz pada tahun 1979, Amartya Sen (1998), dan Joseph Stiglitz (2001). Kajian Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan berbeda dengan Ekonomi yang ’tradisional’. Ekonomi tradisional berhubungan dengan efisiensi, alokasi sumber daya dengan biaya sedikit dan pertumbuhan yang optimal sepanjang jangka waktu tertentu juga dalam memproduksi barang dan jasa.
Apa bedanya Ekonomi Pembangunan sama Ekonomi Politik, terus Ekonomi as usual (apa ya, masak kang Todaro menamakannya dengan ‘Tradisional’). 2b continued…

May 21, 2007

Semifinal Champions 2007


Kamis, 03 Mei 2007. Melihat semifinal champions Milan-MU tadi pagi –tepatnya: siaran ulang- ingatan saya jadi melambung ke tahun 1987, bagaimana PSIS menjadi juara perserikatan karena dia ...jago lapangan becek. Lalu dengan taktik 'coming from behind' membungkam persija, then persebaya di final. Sumohadimarsis menyebut coming from behind versi psis ini dengan gaya ‘semarangan’. Tidak begitu mirip memang gaya italy ini dengan cfb, tetapi 3 buah gol setidaknya dari orang yang memang ‘datang belakangan’ mengindikasikan bahwa jangan terkecoh dengan pergerakan orang ‘utama’. Anyway, Stadion SanSiro dilengkapi dengan sistem irigasi (sebut saja namanya begitu –dasar katrok), semacam pengairan stadion sehingga tidak sampai banjir meski kehujanan. Tapi bertanding under ujan deres? Sepertinya Ferguson tidak mengira bahwa pasukannya harus bertempur di arena basah. Tidak dengan Rossoneri. Gatuso dkk tetap giras bertanding meski dingin menerpa. Apalagi Kaka, Seedorf, Gilardino memang come from behind untuk menipu ke sebelah kiri van der sarr (notice: semua gol di sisi kiri van der sarr). Congrat to milan, dengan kepiawaian bermain di lahan-basah mampu membingungkan MU secara telak. Pemain2 the Reds sepertinya pada takut pilek so maennya tidak seenergik biasanya. Atau capek. Ya sudahlah. Pertanyaannya, bisakah Ancelotti mengikuti pendahulunya, Sartono Anwar? Mampukah Filippo Inzaghi bersemangat layaknya sang senior, Ribut Waidi?

May 20, 2007

Negara, Pasar, Masyarakat


Pasar adalah sebuah kekuatan tak tampak (invisible hand) yang non-Negara, yang identik dengan swasta. Kekuatan swasta tersebut termanifestasi secara kuat melalui multi nasional corporates (MNC) yang mengajak konsumen untuk membeli produknya di media –terutama iklan di televisi.
Pasar dengan demikian merupakan kekuatan bisnis yang sangat besar, bahkan melampaui kekuatan Negara dalam banyak hal. Hal ini ditengarai misalnya besarnya kekayaan MNC dibandingkan cadangan devisa negara sedang berkembang. Masyarakat terwakili melalui lembaga civil society semacam LSM atau NGO, kelompok agama dan lembaga independen lainnya. Masyarakat dapat juga dipahami sebagai suara mayoritas yang pada masa sekarang aspirasinya semakin mengemuka di berbagai media massa. Pertanyaannya, ke mana arah (quo vadis) interaksi ketiganya?
Interaksi pada Masa Lalu
PADA masa Orde Lama dan Orde Baru terminologi ’negara’ sering diidentikan dengan Pemerintah. Bahkan menjadi individual –yakni Negara adalah Presiden- ketika Bung Karno menyebut dirinya sebagai Presiden seumur hidup, atau sebagai Pemimpin besar revolusi. Demikian pula pada masa Orba kekuatan pak Harto sangat kuat sehingga setiap kritikan terhadapnya dari beberapa pihak yang dianggap ’berbahaya’ sering dicap melanggar UUD 45 (seperti Suryadi –mantan Ketua PDI- yang pernah menyarankan perlunya dibatasi kekuasaan Presiden) bahkan sampai subversif (kasus Budiman Sudjatmiko dkk).
Tetapi berbeda dengan Orla, Orba lebih mampu menjalin kerjasama yang ’mesra’ antara negara dan pasar –dengan meminimumkan peran masyarakat. Kekuatan masyarakat diberangus dalam kerangka stabilisasi sosial politik. Pada satu sisi kestabilan tersebut bermanfaat untuk perencanaan pembangunan –melalui Repelita dan Jangka Panjang- sehingga pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 7% per tahun dengan inflasi rendah. Tetapi pada aras politik dan demokratisasi, kebijakan masa mengambang membuat masyarakat tidak tersalurkan potensi atau aspirasinya untuk pembangunan. Pada sisi lain, Orba membuka pintu lebar bagi para investor luar negeri untuk datang. Para investor menjalin kerjasama dengan Negara (melalui kongkalikong dengan aparat pemerintah) untuk menanamkan modalnya.
Tetapi kejayaan itu runtuh oleh masyarakat yang menginginkan reformasi pada tahun 1998. Kekuatan masyarakat –yang termanifestasi dalam mahasiswa- pada saat itu mampu menjungkalkan Negara. Meski banyak analis menggunjingkan bahwa pasar bekerjasama dengan masyarakat untuk menggulingkan Negara –seperti adanya sinyalemen pendanaan lembaga internasional juga MNCs kepada sekelompok masyarakat untuk demo menuntut reformasi- tetapi hampir seluruh masyarakat setuju bahwa perlu adanya perombakan pada pimpinan nasional (dengan atau tanpa kerjasama bersama pasar).
Pasca runtuhnya Orba, gelombang reformasi sering membuat bias siapakah representasi dari ketiganya –terutama yang layak untuk mewakili masyarakat. Sering terjadi bentrokan antar masyarakat yang mewakili ’golongan A’ ataukah ’golongan B’. Namun terlihat bahwa pada masa transisi ke arah demokrasi, pasar lebih kuat untuk mengantisipasi akan ketidakpastian. Contoh yang paling tepat dalam hal ini adalah privatisasi BUMN (menurut Shackleton (1970), privatisasi adalah “pemindahan kepemilikan perusahaan sektor publik ke swasta”, atau Dunleavy (1980) bahwa “pemindahan permanen aktivitas produksi barang dan jasa yang dilakukan perusahaan negara ke pihak swasta”). Privatisasi merupakan contoh bagaimana pengurangan peran Negara dalam perekonomian dan sebaliknya meningkatkan peran swasta (atau pasar). Pasar dalam skala dunia mempergunakan globalisasi sebagai kedoknya. Dengan dalih pasar bebas untuk kemajuan bersama, ia memaksakan kehendak kepada negara sedang berkembang.
Interaksi pada Masa Sekarang dan Mendatang
SEPERTI telah disebut di muka bahwa pada saat ini pasar telah jauh meninggalkan kekuatan masyarakat dan negara. Namun ibaratnya hukum law of diminishing return pasar nantinya akan mengalami titik jenuh dan mengalami keruntuhan. Sebuah hipotesis yang sangat awal tentunya. Prahalat dalam the Bottom of the Pyramid (2005) memberikan saran agar pasar memperhatikan konsumsi masyarakat kelas bawah. Memang pada jaman ini kekuatan konsumsi sangat menggila (consumer driven). Dan masyarakat Amerika Serikat menjadi pionir utama dalam konsumsi dunia.
Maka kolaborasi antara pasar yang berusaha mendekati masyarakat tercipta melalui iklan yang mengharuskan setiap orang cuci tangan dengan mempergunakan merk sabun tertentu. Tidak hanya masyarakat, pasar pun mendekati negara, yaitu dengan mengajak kerjasama –misalnya- Departemen Kesehatan dalam iklan cuci tangan tersebut.
Pada satu sisi, kerjasama antara pasar-masyarakat-negara mampu memecahkan problematika tertentu. Dulu pada era sebelum Gubernur Sutiyoso, setiap Gubernur DKI dipusingkan dengan tingkat urbanisasi yang tinggi. Pernah diadakan kebijakan razia KTP untuk memastikan apakah dia warga DKI atau bukan. Tetapi hal ini cukup solved dengan adanya acara ’Pulang Kampung’ di televisi. Sebuah kerjasama antara Pasar (berupa iklan, dan media televisi), Negara (pemerintah provinsi DKI), dan masyarakat (mereka yang ’dipulangkan’).
Penutup
DARI segi kuantitas, masyarakat merupakan yang terbesar. Namun bagian yang terbesar ini sangat rentan untuk terkotak-kotak dan bahkan ’disusupi’ oleh salah satu kekuatan –apakah masyarakat atau pasar. Dilihat dari kualitas, masyarakat juga merupakan titik terlemah. Pemberdayaan kepada anggota masyarakat menurut hemat saya perlu dilakukan dengan pendidikan. Lalu ke mana arahnya? Sepertinya akan ada interaksi tawar menawar antara pasar dengan negara, kemudian pasar dengan masyarakat, dan masyarakat cenderung untuk ’emoh’ dengan negara. Gitu kali.

6 Gagasan Presiden: Jauh Panggang dari Api?


PADA hari Jumat, 19 Januari 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan kepada para peraih medali di ajang Asian Games 2006. Pada kesempatan itu pula Presiden SBY menyatakan beberapa gagasan untuk memajukan dunia olahraga Indonesia.
Enam gagasan Presiden tersebut adalah (Kompas, 21 Januari 2007, hlm 8) pertama semua pihak diminta peduli terhadap olahraga, kedua Pemerintah akan meningkatkan dana APBN untuk olahraga (tahun 2007 hanya Rp 450 Miliar), ketiga akan didirikan lembaga pendanaan olahraga (sport fund) dalam bentuk kerjasama dengan swasta (public private partnership), keempat pembangunan prasarana pusat olahraga di Sentul, Jawa Barat, seluas 32 hektar, kelima pengembang agar memikirkan penyediaan fasilitas olahraga dalam kawasan permukiman yang dibangun, keenam proses pelatihan dan pembinaan dilakukan dengan baik.
Pertanyaannya, apakah keenam gagasan tersebut menjadi solusi untuk menjadikan olahraga Indonesia mampu berbicara kembali di tingkat dunia? Tulisan ini berusaha menjawab hal tersebut.
***
APABILA kita mengambil hasil Asian Games 2006 sebagai tolok ukur, tentunya keberhasilan atau kesuksesan menjadi relatif –tergantung dari tahun basisnya. Apabila kita mengambil basis tahun 1986 (20 tahun yang lampau), hasil AG 2006 dapat dibilang menggembirakan –karena pada tahun 1986 di Korea kita hanya mendapatkan 1 (satu) keping emas.

Tapi apabila dibandingkan 4 dan 8 tahun sebelumnya (baik di AG Jepang maupun AG Muangthai) kita merosot dari jumlah medali emas. Serta yang lebih menyesakkan adalah dibandingkan Negara sesama Asia Tenggara lainnya, peringkat Indonesia jauh dibawah Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam. Sejak keikutsertaan Indonesia di even AG, baru di tahun 2006 itulah peringkat kita di bawah kelima Negara Asean tersebut.
Sedangkan di ajang South East Asia Games (SEA Games, SG) di Filipina tahun 2005, Indonesia menempati peringkat yang paling rendah dibanding SG sebelumnya. Tepatnya di peringkat keempat sesudah Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Lalu bagaimana menyikapi hal ini, agar di even SG juga AG kita bisa lebih baik. Kembali ke pertanyaan semula, apakah dengan enam gagasan Presiden prestasi olahraga Indonesia jadi maju kembali. Mari kita bahas satu persatu.
Pertama mengajak kepedulian semua pihak terhadap olahraga. Ajakan Presiden ini tentunya harus diturunkan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga menjadi kegiatan yang lebih riil –bekerjasama dengan instansi lainnya. Seperti instruksi kepada Daerah (Gubernur, Walikota) agar mempertahankan fasilitas olahraga publik, tentunya dalam hal ini Menpora bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri. Kemudian mengenai kerjasama dengan BUMN, Menpora perlu mempelajari pendanaan melalui corporate social responsbility (CSR) dalam bentuk program kemitraan dan bina lingkungan –bekerjasama dengan Kementerian BUMN. Selain dengan Meneg BUMN, Menpora perlu merekomendasikan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan keringanan berupa tax holiday kepada BUMN yang mau memberikan pendanaan olahraga.
Kedua, Pemerintah akan meningkatkan dana APBN untuk olahraga. Satuhal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah bahwa peningkatan dana APBN ini sebaiknya tidak hanya terpusat di Kementerian Olahraga saja. Beberapa instansi terkait perlu untuk mainstreaming kepada bidang keolahragaan. Seperti misalnya di Bappenas perlu diperhatikan bagaimana pembangunan bidang pemuda dan olahraga terkait dengan penanggulangan kemiskinan, kemudian di Departemen Pendidikan Nasional –yang memiliki dinas di daerah- untuk mengarahkan kepada pengembangan pendidikan (pemassalan) olahraga di sekolah-sekolah. Demikian pula dengan Departemen Pekerjaan Umum yang memiliki tupoksi untuk sarana-prasarana infrastruktur perumahan. Hal ini berkaitan dengan gagasan Presiden yang nomor 5 (lima) agar Pengembang juga memikirkan penyediaan fasilitas olahraga dalam kawasan permukiman yang dibangun. Penyediaan rumah atlet sangat berkaitan dengan kinerja Departemen PU.
Ketiga, akan didirikan lembaga pendanaan olahraga (sport fund) dalam bentuk kerjasama dengan swasta. Hal ini tentunya merupakan terobosan yang baik –pasca diharamkannya SDSB di era orde baru. Untuk tahap awal, sebenarnya Pemerintah cukup mengoptimalkan BUMN saja –yang notabene state owner enterprise- dalam menggalang pendanaan. Mungkin pada periode selanjutnya, setelah olahraga Indonesia dipandang dapat ’dijual’ maka swasta akan datang dengan sendirinya. Swasta dalam hal ini adalah sektor bisnis non-BUMN.
Kemudian pembangunan prasarana pusat olahraga di Sentul, Jawa Barat, seluas 32 hektar. Sebenarnya pemusatan sarana olahraga yang lagi-lagi di Jabotabek perlu dihindari. Kita perlu mencontoh Korea yang mengembangkan Busan, Thailand yang mengembangkan Chiang Mai, dan Jepang dengan Hiroshima, mereka semua tidak terpusat di ibukota negara lagi. Dahulu rejim Orde Baru mempunyai rencana mengembangkan Solo (Jawa Tengah) dan sekitarnya sebagai pusat olahraga. Terlepas dari pemilihan kota Solo karena kedekatan dengan keluarga Cendana, tetapi fasilitas Stadion Manahan Solo yang apik pada saat ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
Keenam proses pelatihan dan pembinaan dilakukan dengan baik, dalam hal ini yang luput dari perhatian Pemerintah adalah perlunya desentralisasi olahraga. Pengurus Daerah yang memiliki sarana fasilitas olahraga perlu dikembangkan. Seperti misalnya Djarum Kudus yang memiliki klub dan gedung bulutangkis terbaik di tanah air, untuk itu PBSI perlu membuat agar sistem pelatnas tidak hanya terpusat di Cipayung saja. Demikian pula Papua yang merupakan ’tambang’ bagi atlet cabang atletik, atau –dulu- Maluku sebagai penyumbang olahragawan tinju, Pemerintah perlu mempertimbangkan desentralisasi pelatnas agar potensi daerah tidak hilang begitu saja karena tersedot ke Pelatnas Jakarta.
***
OLAHRAGA sangat terkait dengan tingkat kesejahteraan. Masih kita ingat bagaimana sepakbola Indonesia mampu bersaing di tingkat Asia pada era 70-80an. Tetapi ternyata Korea dan Jepang mampu menyalip PSSI di era 90-an, salahsatunya karena fisik pemain mereka sudah setara dengan pemain-pemain Eropa. Sementara kita? Tinggi badan pemain sepakbola Indonesia masih banyak yang dibawah 170 cm.
Maka kebijakan keolahragaan tidak bisa dipisahkan dengan sektor lain seperti kesehatan, pendidikan, bahkan penanggulangan kemiskinan. Sekali lagi, olahraga akan semakin maju apabila kesejahteraan rakyat meningkat. Bagaimana orang mau membahas ’memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat’ atau bahkan mencintai olahraga sejak dini sementara mereka masih dibelit kelaparan dan pengangguran. Maka dari itulah mungkin perlu satu generasi agar Indonesia dapat berbicara lagi pada level Asia –bahkan dunia.
Persoalan olahraga Indonesia apabila dianalogikan dengan 3M (man, material, money) hanya bermasalah di ’man’ atau pengurus saja. Kita memiliki materi pemain yang banyak diantara 220 juta penduduk, kemudian ’money’ sebenarnya kita juga memiliki potensi keuangan yang banyak untuk dioptimalkan (gagasan Presiden untuk sport fund perlu disambut gembira). Menjadi masalah utama adalah orang-orang yang mengurus olahraga bukanlah seseorang yang telah lama berkecimpung mengurusi olahraga, namun orang-orang yang terlahir sebagai birokrat dan kemudian mencari kehidupan dunia olahraga.
Enam gagasan Presiden memang perlu disambut gembira, walaupun ide-ide tersebut lebih cenderung ke timeframe jangka panjang. Bukannya mau mengatakan ’jauh panggang dari api’ tetapi insan olahraga juga bisa bersikap pragmatis: bagaimana prestasi pada jangka pendek, bulan depan, tahun depan. Kita membutuhkan optimalisasi atlet yang ada sekarang ini agar mampu berbicara di level jangka pendek –yang terdekat adalah SG 2007 nanti. Mungkin untuk menjadi runner-up di bawah Thailand perlu kita lupakan. Hasil dari AG di Doha kemarin dapat menjadi gambaran, kita sangat terseok-seok di ajang olahraga yang sebenarnya menghasilkan banyak medali seperti atletik, renang, dan menembak. Di Indonesia popularitas olahraga basis tersebut sangat kalah dibandingkan dengan games –seperti bulutangkis dan sepakbola.Mungkin target Pemeritah cukup ke Olimpiade Beijing 2008, dengan mempertahankan tradisi emas, bahkan kalau bisa mengulang Olimpiade Barcelona 1992 dengan 2 (dua) emas, atau lebih. Jayalah olahraga Indonesia
Tulisan di atas adalah dalam versi aslinya, telah diedit oleh Redaksi Top Skor dan diberi judul "6 Gagasan Presiden SBY" lalu dimuat pada harian OR tersebut hari Kamis tanggal 26 Januari 2007

Raket Anti Nyamuk


Hari Selasa, 15 Mei 2007, sekitar jam 20.30 wib secara tidak sengaja saya kesundut raket anti nyamuk (padahal dalam keadaan off). Anda sendiri pernah enggak kesetrum raket anti nyamuk? Sakitnya ternyata maknyos juga. Bagi yang belum pernah merasakan –sakitnya barangkali tengah2 antara kesetrum listrik PLN sama ‘kemeng’ waktu siku kita kesenggol benda keras. Sekitar 3 menit efeknya baru hilang. Pernah membayangkan jadi nyamuk? Lalu suatu saat ada manusia –yang sebenarnya Anda (behalf of a mosquito) tidak bermaksud menggigitnya- berusaha mencablek Anda. Cethuarrrr! Anda kena. Tapi apesnya… belum mati. Masih krugel krugel antara hidup ke sakaratul maut. Pasti sakitnya bukan kepalang bukan? Pernahkah terbetik empati Anda terhadap nyamuk tersebut? Bayangkan bahwa nyamuk itu perlu hidup dan berkembangbiak untuk the next generation -di alam tropis.
Tropis. Hidup di alam tropis selain mendatangkan benefit berupa keanekaragaman hayati tetapi pada sisi lain adalah mudah terjangkitnya penyakit menular. Nyamuk jenis aides aigepti dituding menjadi salahsatu aktor utama dalam terjangkitnya penyakit DBD. Berita yang dikutip dari Suara Karya menyebutkan bahwa sejak Januari hingga 11 April 2007 korban meninggal dunia di DKI Jakarta mencapai 17 orang dari korban sebanyak 1782 orang. Lalu upaya Pemda? Fogging, pengasapan. Kemudian menyosialisasikan tentang pencegahan berupa 3M yaitu Mengubur, Menutup, dan Menguras. Perseteruan antara manusia dengan nyamuk sepertinya memuncak tahun ini. DKI Jakarta sebagai proivinsi dengan korban terparah nomor 2 (dua) sesudah Jawa Barat akan mengklaim demam berdarah dengue ini sebagai bencana nasional. Gubernur Bang Yos bahkan akan menindak mereka yang menolak kawasannya diasepin. Pengasapan apakah memang solusinya? Kita harus berpikir dan bertindak secara lebih arif. Harus ada solusi perseteruan antara 2 makhluk ini, untuk menyelamatkan peradaban manusia dan melestarikan species nyamuk agar tidak punah. Mungkin Anda tidak tahu bahwa nyamuk pun membuat planning dengan menjadikan generasi berikutnya jadi kebal (immune, resistant) terhadap pengasapan. Kita perlu cara perdamaian untuk memecahkan perseteruan ini. Jangan membuat konflik berkepanjangan. Kita dimanfaatkan oleh Pasar (produsen raket nyamuk, obat nyamuk, dan cairan kimia) untuk merogoh saku kita dan membuat mereka semakin kaya raya. Padahal semestinya, kita harus bergandengan tangan dengan nyamuk untuk bersama-sama menjaga lingkungan. Sediakan nyamuk hidup di tanaman dan tumbuhan beserta taman yang asri. Nyamuk hidup di rumah karena dia kehilangan tempat tinggal alaminya. Hutan-hutang jangan ditebangi, sediakan nyamuk tempat tinggal yang nyaman!